Ringkasan Laporan Akhir Tahun Komnas Perempuan
Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua Provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email resmi Komnas Perempuan, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Tahun 2020 Komnas perempuan mengirimkan 672 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 35%, yaitu 239 formulir.
Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus. 58% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (531 kasus), Perkosaan (715 kasus) dan Pelecehan Seksual (520 kasus). Sementara itu persetubuhan sebanyak 176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan.Pencabulan dan persetubuhan merupakan istilah yang banyak digunakan Kepolisian dan Pengadilan karena dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal, selalu sama seperti tahun-tahun sebelumnya kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 2.341 kasus (21%). Kekerasan terhadap anak perempuan di tahun ini meningkat di banding tahun 2018, mengalahkan kekerasan dalam pacaran 1.815 kasus (16%%), sisanya adalah kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Angka kekerasan terhadap anak perempuan beberapa
tahun terakhir selalu masuk angka ketiga tertinggi angka kekerasan di ranah
KDRT/relasi personal memperlihatkan bahwa menjadi anak perempuan di dalam rumah
bukan lagi hal yang aman. Diantara mereka mengalami kekerasan seksual. Kasus
inses pada tahun ini mencapaiangka 822 kasus turun 195 kasus di banding tahun
2018 yang mencapai 1.017 kasus. Pelaku insesterbesar adalah sebesar 618 orang.
Angka marital rape pada tahun ini juga turun di banding tahun lalu. Marital
rape tahun ini sebesar 100 kasusdibanding data kasus tahun lalu yang mencapai
192 kasus yang dilaporkan. Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam
perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam
perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum.
Keberanian melaporkan kasus yang dialami anak perempuan dan marital rape kepada
lembaga layanan menunjukkan langkah maju perempuan yang selama ini cenderung menutup
dan memupuk impunitas pelaku anggota keluarga.
Komnas Perempuan mellihat tentang pentingnya inisiatif
organisasi masyarakat sipil di berbagai Provinsi di Indonesia dalam membuka
layanan pengaduan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan terhadap
perempuan. Demikian pula Women Crisis Center yang dibangun khusus untuk
pelayanan korban. Kehadiran dan partisipasi mereka sangat membantu Komnas
Perempuan menemukan berapa laporan korban serta bentuk-bentuk kekerasan yang
dialami korban. Komnas Perempuan bahkan dapat menemukan data kategori pelaku
kekerasan. Data pelaku ini diharapkan dapat mempermudah banyak pihak untuk
menganalisa akar kekerasan serta bagaimana melakukan pencegahan dan pemulihan.
Keberadaan organisasi masyarakat sipil sangatlah penting didukung oleh semua
pihak karena merekalah yang dapat menjangkau langsung korban dan memiliki metode
yang lebih komprehensif mulai dari pendampingan, penanganan sampai pemulihan
korban.
CATAHU tahun ini UPPA menempati urutan tertinggi pertama penerimaan
yaitu sebanyak 4.124 kasus, banyaknya kasus yang dilaporkan ke UPPA yang adalah
dibawah lembaga kepolisian dapat diartikan bahwa masyarakat membutuhkan lembaga
atau institusi yang legal dan memiliki payung hukum. Lembaga kepolisian secara
insfrastuktur ditempatkan di berbagai wilayah sampai ke tingkat kecamatan
sehingga mudah dijangkau. Namun disisi lain, dapat dilihat minimnya jumlah kasus
yang di proses di Pengadilan Negeri (PN), yang dapat diartikan proses hukum
mengalami kemandegan, bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan masih
terhambat penanganan dan penyelesaiannya secara hukum, oleh karena itu perlu implementasi
monitoring dan evaluasi implementasi UU Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk
kasus kasus kekerasan seksual, masih diperlukan UU khusus mengenai Tindak
Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual.
menarik sekali
BalasHapus